Minggu, 29 Maret 2009

KELUAR CAIRAN HITAM DI LAPINDO

SIDOARJO - Sudah beberapa kali pusat semburan lumpur Lapindo mengeluarkan semburan lumpur panas bercampur cairan berwarna hitam. Diduga, cairan itu minyak mentah yang keluar dari perut bumi.

Meski demikian, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, saat melihat semburan lumpur panas, kemarin siang mengatakan perlu adanya kepastian apakah cairan berwarna hitam pekat itu memang minyak mentah. Untuk itu, dia berharap agar segera ada hasil lab terkait kandungan cairan berwarna hitam pekat itu.

"Sampai saat ini kita tidak tahu apakah kandungan cairan hitam yang keluar dari pusat semburan itu ada minyak mentahnya. Jadi perlu kepastian hasil laboratorium," ujar Win Hendrarso yang saat berada di pusat semburan didampingi Humas BPLS Akhmad Zulkarnain.

Jika memang benar ada kandungan minyak, lanjut Win Hendrarso, pemerintah pusat harus melakukan langkah konkret. Yaitu mengelola kandungan minyak mentah yang keluar bersamaan lumpur panas itu.

Selama ini, cairan berwarna hitam yang kadang keluar dari pusat semburan dikira minyak mentah. Namun, sejauh ini, lanjut dia, hanya isu dan perlu adanya kepastian. "Bagaimana mengidentifikasi ada dan tidaknya kandungan minyak di semburan itu," tandas pria yang menjadi Bupati Sidoarjo dua periode ini.

Jika memang ada kandungan minyaknya, Win mengaku, Pemkab Sidoarjo menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Sebab, selama ini sudah ada aturan bagi hasil terkait minyak dan gas bumi.

Sejak keluarnya cairan berwarna hitam bersamaan dengan keluarnya lumpur panas, tim dari BP Migas BPLS sudah mengambil sample cairan itu untuk diuji di Laboratorium BP Migas. Namun, sejauh ini belum ada hasil apakah cairan itu memang minyak mentah.

Tim dari BP Migas yang mengambil sample cairan berwarna hitam pada Sabtu 21 Maret tidak bisa memastikan apakah cairan itu minyak mentah. Mereka masih membawa cairan itu ke lab milik BP Migas dan hasilnya akan diketahui dalam dua pekan.

Berdasar pantauan di lokasi, di sekitar tanggul yang jaraknya sekira 100 meter dari pusat semburan memang ada bekas cairan berwarna hitam yang sudah mulai mengering. Cairan inilah yang diduga minyak mentah.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, sejak terjadinya semburan lumpur panas pada 29 Mei 2006 lalu, sudah beberapa kali keluar cairan hitam. Namun, pemerintah melalui BP Migas belum bisa memastikan apakah cairan itu memang minyak mentah.

Sedangkan di sekitar pusat semburan hanyalah hamparan lumpur berwarna pekat. Menurut petugas tanggul, beberapa waktu lalu memang keluar cairan hitam itu. Namun, kini sudah tidak keluar lagi. "Kalau dilihat dari warnanya, itu memang minyak mentah," ujar petugas tadi.

Dia bisa memastikan kalau itu minyak mentah, jika dibandingkan dengan minyak mentah yang dibawa kapal tanker yang tumpah di lautan. Cairan itu mengambang di atas air dan warnanya sama. Namun, untuk kadarnya minyak mentah yang keluar dari pusat semburan belum diketahui.

Sumber :

OkeZone, 23 Maret 2009 - 18:23 wib

Penulis: Abdul Rouf/Sindo/ful


Senin, 09 Maret 2009

Fenomena Perlu Dikaji secara Komprehensif


JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah diminta melakukan kajian secara komprehensif terkait fenomena gunung lumpur (mud vulcano) yang terdapat di sejumlah wilayah di Indonesia. Bila sudah memiliki data-data yang lengkap terkait hal ini, maka perencanaan pembangunan infrastruktur bisa dilakukan secara hati-hati dan disesuaikan dengan struktur alam. "Fenomena gunung lumpur jangan dianggap enteng. Pemerintah mesti melakukan kajian secara detil dan konprehensif," kata pakar geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Dr Sukendar Asikin, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, dengan memiliki data karakteristik mud vulcano secara lengkap, memungkinkan dilakukan pencegahan terjadinya bencana semburan lumpur dari bawah tanah. "Sayangnya saat ini para geolog Indonesia masih meraba-raba tentang fenomena gunung lumpur berdasarkan sejarahnya. Padahal ini juga ada di berbagai belahan bumi. Amerika Serikat yang juga memiliki konsentrasi gunung lumpur saat ini memiliki sistem pencegahan dan penanggulangan semburan agar fenomena alam tersebut tidak berubah menjadi bencana yang merugikan," ucapnya.

Sukendar mengatakan, sejumlah wilayah yang memiliki potensi gunung lumpur antara lain seluruh wilayah di Jawa Timur, Sangiran (Solo), Bangkalan (Madura), Mataloko (Flores), dan Purwodadi (Jawa Tengah). Wilayah Jatim memang merupakan daerah yang memiliki konsentrasi gunung lumpur cukup besar dan karenanya terdapat pula potensi cekungan hidrokarbon. Selain di Porong, Sidoarjo, wilayah Jatim lainnya yang pernah menyembur lumpur adalah Gunung Anyar yang berjarak 30 km dari lokasi lumpur Porong. "Bahkan Bandara Juanda pun dibangun di atas area mud vulcano yang sudah mati. Saya juga baru tahu soal itu," ujarnya.

Dia menjelaskan, lumpur dengan intensitas kecil sudah biasa dan lama muncul di rumah-rumah penduduk di wilayah Jateng dan Jatim. "Kalau menilik sejarahnya, maka kejadian mud vulcano di Porong sudah pernah terjadi di masa lalu dan menyebabkan runtuhnya Kerajaan Kediri," tutur Sukendar.

Menurut dia, semburan lumpur tersebut disebabkan beban yang besar, seperti pembangunan kota menekan permukaan di atasnya. Ini ditambah faktor pergerakan tektonik bumi yang membuat lumpur tertekan dan menjadi keluar dari perut bumi. Jadi, fenomena alam di Sidoarjo merupakan gejala alamiah dan bukan akibat aktivitas underground blow out.

Sumber : Suara Karya, 10 Maret 2009


INDONESIA SHOULD'VE HAD AN ACCURATE NATIONAL VOLCANO EARLY WARNING SYSTEM

An Assessment of Volcanic Threat and Monitoring Capabilities in the United States: Framework for a National Volcano Early Warning System

A National Volcano Early Warning System --NVEWS -- is being formulated by the Consortium of U.S. Volcano Observatories (CUSVO) to establish a proactive, fully integrated, national-scale monitoring effort that ensures the most threatening volcanoes in the United States are properly monitored in advance of the onset of unrest and at levels commensurate with the threats posed. Volcanic threat is the combination of hazards (the destructive natural phenomena produced by a volcano) and exposure (people and property at risk from the hazards).

The United States has abundant volcanoes, and over the past 25 years the Nation has experienced a diverse range of the destructive phenomena that volcanoes can produce. Hazardous volcanic activity will continue to occur, and -- because of increasing population, increasing development, and expanding national and international air traffic over volcanic regions -- the exposure of human life and enterprise to volcano hazards is increasing. Fortunately, volcanoes exhibit precursory unrest that if detected and analyzed in time allows eruptions to be anticipated and communities at risk to be forewarned with reliable information in sufficient time to implement response plans and mitigation measures.

In the 25 years since the cataclysmic eruption of Mount St. Helens, scientific and technological advances in volcanology have been used to develop and test models of volcanic behavior and to make reliable forecasts of expected activity a reality. Until now, these technologies and methods have been applied on an ad hoc basis to volcanoes showing signs of activity. However, waiting to deploy a robust, modern monitoring effort until a hazardous volcano awakens and an unrest crisis begins is socially and scientifically unsatisfactory because it forces scientists, civil authorities, citizens, and businesses into “playing catch up” with the volcano, trying to get instruments and civil-defense measures in place before the unrest escalates and the situation worsens. Inevitably, this manner of response results in our missing crucial early stages of the volcanic unrest and hampers our ability to accurately forecast events. Restless volcanoes do not always progress to eruption; nevertheless, monitoring is necessary in such cases to minimize either over-reacting, which costs money, or under-reacting, which may cost lives.

http://pubs.usgs.gov/of/2005/1164/

Rabu, 04 Maret 2009

KRONOLOGIS TERJADINYA BENCANA ALAM LUMPUR LAPINDO

Semburan lumpur panas itu muncul pertama kalinya pada 29 Mei sekitar pukul 05.00. Terjadinya di areal persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong. Kabupaten Sidoarjo sekitar 150 meter barat daya sumur Banjar Panji 1 yang dikerjakan oleh Lapindo Brantas Inc.

Selama tiga bulan Lapindo Brantas Inc, yang merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk, melakukan pengeboran vertikal untuk mencapai formasi geologi yang disebut Kujung pada kedalaman 10.300 kaki. Sampai semburan lumpur pertama itu, yang dalam dunia perminyakan dan gas disebut blow out, telah dicapai kedalaman 9.297 kaki (sekitar 3,5 kilometer). Kedalaman ini dicapai pukul 13.00 dua hari sebelum blow out.

Sesuai kelaziman pada pengeboran di kedalaman tersebut, lumpur berat masuk pada lapisan, disebut loss, yang memungkinkan terjadinya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas atau kick, antisipasinya menarik pipa untuk memasukkan casing yang merupakan pengaman sumur. Ketika penarikan pipa hingga 4.241 kaki, pada 28 Mei, terjadi kick.

Penanggulangan ini adalah dengan penyuntikan lumpur ke dalam sumur. Ternyata bor macet pada 3.580 kaki, dan upaya pengamanan lain dengan disuntikan semen. Bahkan pada hari itu dilakukan fish, yakni pemutusan mata bor dari pipa dengan diledakan. Kemudian yang terjadi adalah semburan gas dan lumpur pada subuh esok harinya.

Lumpur yang keluar terus selama tiga bulan ini rata-rata 50.000 meter kubik seharinya. Lumpur ini diduga berasal dari formasi geologi yang disebut Kalibeng pada kedalaman 6.100 sampai 8.500 kaki.

Menurut analisis lumpur menunjukkan umur masa Pliosen dan mengandung material volkanik. Pada awal semburan lumpur mengeluarkan gas H2S dengan temperatur mencapai 40 hingga 50 derajat Celcius. Inilah yang melandasi perkiraan para pakar geologi bahwa kejadian semburan lumpur Lapindo merupakan mud volcano, termasuk debit yang mencapai ribuan meter kubik itu dipastikan bukan lumpur pengeboran.

Kejadian mud volcano sendiri merupakan hal yang alami. Di dalam kawasan secara geologi masih menyatu dengan Bledug Kuwu di Kecamatan Kradenan, Kabupaten Purwodadi, Jawa Tengah, atau yang di Sangiran dome. Mekanisme keluarnya lumpur terjadi pada mud volcano adalah terdorong keluar oleh tekanan yang ditimbulkan oleh adanya pencairan dari lapisan lempung di dalam permukaan bumi akibat percampuran dengan air bawah tanah dan keluar melalui patahan (fissure).

Pada lokasi sumur Banjar Panji 1, menurut Arse Kusumastuti, dari laporan ilmiah pada American Association of Petroleum Geologist pada 2002, memang ada patahan yang memotong puncak batu gamping formasi Kujung. Dan juga terdapat colapse atau slump yang secara geologi mengindikasikan adanya lapisan lempung. Kondisi yang diperkirakan serupa dengan di Sangiran dome maupun di Bledug Kuwu.