Rabu, 01 April 2009

DISASTER : Mudflow mixed with oil threatens fishermen

The Sidoarjo hot mudflow, now mixed with oil poses a greater threat of environmental damage because it flows through residential areas and the
Porong River before getting to the sea, an official said.

“Thousands of fishermen in Sidoarjo and Pasuruan will be affected by the oil-tainted mudflow, as well as hundreds of milkfish farmers,” Surono, head of the Volcanology and Goelogical Disaster Mitigation Center (PVMG), told the Jakarta Post on Monday.

Surono said the PVMBG had found traces of a black, heavy liquid discharged together with the mud in his study on March 22.
He said the volume of oil was currently small, compared to the mud and water gashing out from the borehole at 126,000 cubic meters daily, or equivalent to 1 million barrels per day.

“The Upstream Oil and Gas Executive Agency (BP Migas) is analyzing the oil to evaluate its contents,” he said.

That aside, Surono and a number of oil and geology experts from the Bandung Institute of Technology (ITB) and Surabaya’s 10 November Institute of Technology (ITS) are convinced that the oil being released now is just the beginning of an oil flow of greater volume, because the area around Porong is potentially rich in oil.

The Sidoarjo Hot Mudflow Mitigation Agency (BPLS) said the mudflow could not be plugged because it was a natural phenomenon in the form of a mud volcano, although ITB and ITS were positive the mudflow could be stopped using two methods – a relief well and a Bernoulli dam.

ITB petroleum expert Rudi Rubiandini said the the government and PT Lapindo should immediately plug the mudflow and not allow the oil to flow into residential areas or the Porong River.

“The discharged oil will pollute the environment. I am sure it’s not too late to stop the mudflow,” he told the Post.

ITS marine expert Mukhtasor said discharging the mudflow into the Porong River was very dangerous as it could hurt hundreds of milkfish farmers who rely on the river.

Based on satellite images, the hot mudflow has followed into the shipping route in the Madura Strait and into fishing areas in Pasuruan.

“Dumping mud alone into the Porong River is dangerous because it could silt up the Madura Strait,’ said Rudi.

The strait was already badly silted up by materials carried by the Bengawan Solo and Brantas Rivers, even before President Susilo Bambang Yudhoyono instructed that the mud be channeled into the Porong River in 2007.

According to the Indonesian Marine Geological Institute, the volume of sediment carried by the Bengawan Solo River amounts to 2.75 kg per cubic meter, while those by the Brantas River at 1.3 kg per cubic meter daily. The volume is expected to rise in conjunction with logging activities along the river basin areas.

The current depth of the Madura Strait is between nine and 10 meters deep, and 100 meters wide, while the mud dumped into the Porong River, that will reach the sea, amounts to 50,000 cubic meters per day.

Head of the PT Pelindo III state run port authority Iwan Subatini said foreign freighters weighing over 2,000 tons could not berth at the Tanjung Perak International Port in Surabaya because of the silted-up Madura Strait.

“We had planned to dredge the Strait to prevent sedimentation, but have been held back by Kodeco’s pipe-laying activities in the Strati,” Rudi said.

Sumber : Jakarta Post, April 1, 2009 Page 19

Minggu, 29 Maret 2009

KELUAR CAIRAN HITAM DI LAPINDO

SIDOARJO - Sudah beberapa kali pusat semburan lumpur Lapindo mengeluarkan semburan lumpur panas bercampur cairan berwarna hitam. Diduga, cairan itu minyak mentah yang keluar dari perut bumi.

Meski demikian, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, saat melihat semburan lumpur panas, kemarin siang mengatakan perlu adanya kepastian apakah cairan berwarna hitam pekat itu memang minyak mentah. Untuk itu, dia berharap agar segera ada hasil lab terkait kandungan cairan berwarna hitam pekat itu.

"Sampai saat ini kita tidak tahu apakah kandungan cairan hitam yang keluar dari pusat semburan itu ada minyak mentahnya. Jadi perlu kepastian hasil laboratorium," ujar Win Hendrarso yang saat berada di pusat semburan didampingi Humas BPLS Akhmad Zulkarnain.

Jika memang benar ada kandungan minyak, lanjut Win Hendrarso, pemerintah pusat harus melakukan langkah konkret. Yaitu mengelola kandungan minyak mentah yang keluar bersamaan lumpur panas itu.

Selama ini, cairan berwarna hitam yang kadang keluar dari pusat semburan dikira minyak mentah. Namun, sejauh ini, lanjut dia, hanya isu dan perlu adanya kepastian. "Bagaimana mengidentifikasi ada dan tidaknya kandungan minyak di semburan itu," tandas pria yang menjadi Bupati Sidoarjo dua periode ini.

Jika memang ada kandungan minyaknya, Win mengaku, Pemkab Sidoarjo menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Sebab, selama ini sudah ada aturan bagi hasil terkait minyak dan gas bumi.

Sejak keluarnya cairan berwarna hitam bersamaan dengan keluarnya lumpur panas, tim dari BP Migas BPLS sudah mengambil sample cairan itu untuk diuji di Laboratorium BP Migas. Namun, sejauh ini belum ada hasil apakah cairan itu memang minyak mentah.

Tim dari BP Migas yang mengambil sample cairan berwarna hitam pada Sabtu 21 Maret tidak bisa memastikan apakah cairan itu minyak mentah. Mereka masih membawa cairan itu ke lab milik BP Migas dan hasilnya akan diketahui dalam dua pekan.

Berdasar pantauan di lokasi, di sekitar tanggul yang jaraknya sekira 100 meter dari pusat semburan memang ada bekas cairan berwarna hitam yang sudah mulai mengering. Cairan inilah yang diduga minyak mentah.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, sejak terjadinya semburan lumpur panas pada 29 Mei 2006 lalu, sudah beberapa kali keluar cairan hitam. Namun, pemerintah melalui BP Migas belum bisa memastikan apakah cairan itu memang minyak mentah.

Sedangkan di sekitar pusat semburan hanyalah hamparan lumpur berwarna pekat. Menurut petugas tanggul, beberapa waktu lalu memang keluar cairan hitam itu. Namun, kini sudah tidak keluar lagi. "Kalau dilihat dari warnanya, itu memang minyak mentah," ujar petugas tadi.

Dia bisa memastikan kalau itu minyak mentah, jika dibandingkan dengan minyak mentah yang dibawa kapal tanker yang tumpah di lautan. Cairan itu mengambang di atas air dan warnanya sama. Namun, untuk kadarnya minyak mentah yang keluar dari pusat semburan belum diketahui.

Sumber :

OkeZone, 23 Maret 2009 - 18:23 wib

Penulis: Abdul Rouf/Sindo/ful


Senin, 09 Maret 2009

Fenomena Perlu Dikaji secara Komprehensif


JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah diminta melakukan kajian secara komprehensif terkait fenomena gunung lumpur (mud vulcano) yang terdapat di sejumlah wilayah di Indonesia. Bila sudah memiliki data-data yang lengkap terkait hal ini, maka perencanaan pembangunan infrastruktur bisa dilakukan secara hati-hati dan disesuaikan dengan struktur alam. "Fenomena gunung lumpur jangan dianggap enteng. Pemerintah mesti melakukan kajian secara detil dan konprehensif," kata pakar geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Dr Sukendar Asikin, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, dengan memiliki data karakteristik mud vulcano secara lengkap, memungkinkan dilakukan pencegahan terjadinya bencana semburan lumpur dari bawah tanah. "Sayangnya saat ini para geolog Indonesia masih meraba-raba tentang fenomena gunung lumpur berdasarkan sejarahnya. Padahal ini juga ada di berbagai belahan bumi. Amerika Serikat yang juga memiliki konsentrasi gunung lumpur saat ini memiliki sistem pencegahan dan penanggulangan semburan agar fenomena alam tersebut tidak berubah menjadi bencana yang merugikan," ucapnya.

Sukendar mengatakan, sejumlah wilayah yang memiliki potensi gunung lumpur antara lain seluruh wilayah di Jawa Timur, Sangiran (Solo), Bangkalan (Madura), Mataloko (Flores), dan Purwodadi (Jawa Tengah). Wilayah Jatim memang merupakan daerah yang memiliki konsentrasi gunung lumpur cukup besar dan karenanya terdapat pula potensi cekungan hidrokarbon. Selain di Porong, Sidoarjo, wilayah Jatim lainnya yang pernah menyembur lumpur adalah Gunung Anyar yang berjarak 30 km dari lokasi lumpur Porong. "Bahkan Bandara Juanda pun dibangun di atas area mud vulcano yang sudah mati. Saya juga baru tahu soal itu," ujarnya.

Dia menjelaskan, lumpur dengan intensitas kecil sudah biasa dan lama muncul di rumah-rumah penduduk di wilayah Jateng dan Jatim. "Kalau menilik sejarahnya, maka kejadian mud vulcano di Porong sudah pernah terjadi di masa lalu dan menyebabkan runtuhnya Kerajaan Kediri," tutur Sukendar.

Menurut dia, semburan lumpur tersebut disebabkan beban yang besar, seperti pembangunan kota menekan permukaan di atasnya. Ini ditambah faktor pergerakan tektonik bumi yang membuat lumpur tertekan dan menjadi keluar dari perut bumi. Jadi, fenomena alam di Sidoarjo merupakan gejala alamiah dan bukan akibat aktivitas underground blow out.

Sumber : Suara Karya, 10 Maret 2009


INDONESIA SHOULD'VE HAD AN ACCURATE NATIONAL VOLCANO EARLY WARNING SYSTEM

An Assessment of Volcanic Threat and Monitoring Capabilities in the United States: Framework for a National Volcano Early Warning System

A National Volcano Early Warning System --NVEWS -- is being formulated by the Consortium of U.S. Volcano Observatories (CUSVO) to establish a proactive, fully integrated, national-scale monitoring effort that ensures the most threatening volcanoes in the United States are properly monitored in advance of the onset of unrest and at levels commensurate with the threats posed. Volcanic threat is the combination of hazards (the destructive natural phenomena produced by a volcano) and exposure (people and property at risk from the hazards).

The United States has abundant volcanoes, and over the past 25 years the Nation has experienced a diverse range of the destructive phenomena that volcanoes can produce. Hazardous volcanic activity will continue to occur, and -- because of increasing population, increasing development, and expanding national and international air traffic over volcanic regions -- the exposure of human life and enterprise to volcano hazards is increasing. Fortunately, volcanoes exhibit precursory unrest that if detected and analyzed in time allows eruptions to be anticipated and communities at risk to be forewarned with reliable information in sufficient time to implement response plans and mitigation measures.

In the 25 years since the cataclysmic eruption of Mount St. Helens, scientific and technological advances in volcanology have been used to develop and test models of volcanic behavior and to make reliable forecasts of expected activity a reality. Until now, these technologies and methods have been applied on an ad hoc basis to volcanoes showing signs of activity. However, waiting to deploy a robust, modern monitoring effort until a hazardous volcano awakens and an unrest crisis begins is socially and scientifically unsatisfactory because it forces scientists, civil authorities, citizens, and businesses into “playing catch up” with the volcano, trying to get instruments and civil-defense measures in place before the unrest escalates and the situation worsens. Inevitably, this manner of response results in our missing crucial early stages of the volcanic unrest and hampers our ability to accurately forecast events. Restless volcanoes do not always progress to eruption; nevertheless, monitoring is necessary in such cases to minimize either over-reacting, which costs money, or under-reacting, which may cost lives.

http://pubs.usgs.gov/of/2005/1164/

Rabu, 04 Maret 2009

KRONOLOGIS TERJADINYA BENCANA ALAM LUMPUR LAPINDO

Semburan lumpur panas itu muncul pertama kalinya pada 29 Mei sekitar pukul 05.00. Terjadinya di areal persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong. Kabupaten Sidoarjo sekitar 150 meter barat daya sumur Banjar Panji 1 yang dikerjakan oleh Lapindo Brantas Inc.

Selama tiga bulan Lapindo Brantas Inc, yang merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk, melakukan pengeboran vertikal untuk mencapai formasi geologi yang disebut Kujung pada kedalaman 10.300 kaki. Sampai semburan lumpur pertama itu, yang dalam dunia perminyakan dan gas disebut blow out, telah dicapai kedalaman 9.297 kaki (sekitar 3,5 kilometer). Kedalaman ini dicapai pukul 13.00 dua hari sebelum blow out.

Sesuai kelaziman pada pengeboran di kedalaman tersebut, lumpur berat masuk pada lapisan, disebut loss, yang memungkinkan terjadinya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas atau kick, antisipasinya menarik pipa untuk memasukkan casing yang merupakan pengaman sumur. Ketika penarikan pipa hingga 4.241 kaki, pada 28 Mei, terjadi kick.

Penanggulangan ini adalah dengan penyuntikan lumpur ke dalam sumur. Ternyata bor macet pada 3.580 kaki, dan upaya pengamanan lain dengan disuntikan semen. Bahkan pada hari itu dilakukan fish, yakni pemutusan mata bor dari pipa dengan diledakan. Kemudian yang terjadi adalah semburan gas dan lumpur pada subuh esok harinya.

Lumpur yang keluar terus selama tiga bulan ini rata-rata 50.000 meter kubik seharinya. Lumpur ini diduga berasal dari formasi geologi yang disebut Kalibeng pada kedalaman 6.100 sampai 8.500 kaki.

Menurut analisis lumpur menunjukkan umur masa Pliosen dan mengandung material volkanik. Pada awal semburan lumpur mengeluarkan gas H2S dengan temperatur mencapai 40 hingga 50 derajat Celcius. Inilah yang melandasi perkiraan para pakar geologi bahwa kejadian semburan lumpur Lapindo merupakan mud volcano, termasuk debit yang mencapai ribuan meter kubik itu dipastikan bukan lumpur pengeboran.

Kejadian mud volcano sendiri merupakan hal yang alami. Di dalam kawasan secara geologi masih menyatu dengan Bledug Kuwu di Kecamatan Kradenan, Kabupaten Purwodadi, Jawa Tengah, atau yang di Sangiran dome. Mekanisme keluarnya lumpur terjadi pada mud volcano adalah terdorong keluar oleh tekanan yang ditimbulkan oleh adanya pencairan dari lapisan lempung di dalam permukaan bumi akibat percampuran dengan air bawah tanah dan keluar melalui patahan (fissure).

Pada lokasi sumur Banjar Panji 1, menurut Arse Kusumastuti, dari laporan ilmiah pada American Association of Petroleum Geologist pada 2002, memang ada patahan yang memotong puncak batu gamping formasi Kujung. Dan juga terdapat colapse atau slump yang secara geologi mengindikasikan adanya lapisan lempung. Kondisi yang diperkirakan serupa dengan di Sangiran dome maupun di Bledug Kuwu.

Selasa, 17 Februari 2009

LUMPUR LAPINDO : BENCANA ALAM VS HUMAN ERROR



Menurut laporan terbaru yang dipaparkan oleh dua orang insinyur petroleum terkemuka yakni Maurice Dusseault PhD dari Universitas Waterloo Kanada dan insinyur S3 dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) USA, Baldeo Singh, dalam acara komunitas ilmuwan geolog di Cape Town, Afrika Selatan, menyimpulkan bahwa bencana letusan lumpur Sidoarjo bukan dipicu kegiatan pengeboran.

“Gempa dan gempa-gempa susulan di Yogyakarta serta dampak yang ditimbulkannya merupakan kunci penyebab kejadian,” demikian penggalan dalam laporan tersebut.


Bencana letusan lumpur Sidoarjo berawal pada tanggal 29 Mei 2006. Peristiwa itu terjadi setelah gempa bumi yang berkekuatan 6,3 skala richter menyerang Yogyakarta dan sekitarnya. Lumpur panas mulai meletus dari retakan panjang pada jarak 200 km dari pusat terjadinya gempa. Sejak itu, 150.000 m3 lumpur terus keluar tiap hari, menggenangi desa-desa sekitar dan menyebabkan kerusakan pada infrastruktur lokal. Menurut para ahli, aliran lumpur sepertinya dapat berkelanjutan hingga waktu lama.


Laporan kedua due diligence disodorkan Ralph Adams, insinyur asal Kanada yang sudah berpengalaman 29 tahun dalam pengeboran minyak dan gas di Indonesia. Adams menulis laporan Banjar Panji-1 Well Control Incident Report.


“Program pengeboran dan perubahan rangka sumur pengeboran bukan menjadi penyebab letusan (semburan), melainkan dibuka oleh gempa besar kurang dari 24 jam sebelum kena sumur,” tulisnya.


Dua hasil penelitian ini memperkuat kajian tim geologi Norwegia, Prancis, dan Rusia yang menyimpulkan gempa bumi Yogyakarta sebagai penyebab terjadinya letusan lumpur Sidoardjo. Tim yang dipimpin volkanolog lumpur, Dr. Adriano Mazzini dari University of Oslo, telah melaporkan hal ini di Earth and Planetary Science Letters pada 12 Juli 2007. “Ini menunjukkan bahwa gempa bumi tersebut mendistribusikan tekanan berulang-ulang di beberapa bagian pada pulau Jawa,” tulis Dr. Mazzini dalam laporannya. Di beberapa tempat yang dapat memperparah pecahan pada kesalahan terdahulu, menyebabkan tekanan hawa menjadi lembab. Sehingga menyerap dan menghasilkan letusan melalui banyak proses di bawah permukaan tanah.


Hal ini menanggapi teori dari Richard Davies, geolog asal Universitas Durham, Inggris yang sepenuhnya menyalahkan bahwa lumpur Lapindo disebabkan karena pengeboran gas Banjar Panji-1 yang tidak memenuhi syarat kelayakan. Laporan pertama dibuat berdasarkan studi due dilligence mengenai proses pengeboran. Pada laporan bertajuk Pengamatan pada Perencanaan Peristiwa Banjar Panji-1 dan Alasan Program Pengeboran, terungkap banyak hal. Antara lain soal perencanaan yang selayaknya operasi pengeboran demi menjaga prosedur industri. Perencanaan juga dilakukan dengan standar tinggi dengan menjaga keselamatan kru.

Semula, pendapat Davies sempat menghasilkan perhatian besar dari media. Beberepa LSM menggunakannya untuk menyerang perusahaan eksplorasi joint-venture Indonesia-Australia, Lapindo Brantas Inc. Lapindo berhasil membela diri di pengadilan saat di tuntut oleh sebuah LSM lokal. Sebab LSM tersebut gagal memberikan bukti-bukti yang menunjukan kesalahan Lapindo.

Senin, 16 Februari 2009

SEBELUMNYA PERNAH TERJADI

Bledug Kuwu adalah sebuah fenomena gunung api lumpur (mud volcanoes) seperti halnya yang terjadi di Porong, Sidoarjo, tetapi sudah terjadi jauh sebelum jaman Kerajaan Mataram Kuno (732M - 928M). Terletak di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Purwodadi, Propinsi Jawa Tengah. Obyek yang menarik dari Bledug ini adalah letupan-letupan lumpur yang mengandung garam dan berlangsung secara hampir kontinyu pada daerah dengan diameter ± 650 meter. Secara etimologi, nama Bledug Kuwu berasal dari Bahasa Jawa (karena memang adanya di tengah Jawa sih… , yaitu ‘bledug‘ yang berarti ‘ledakan / meledak‘ dan ‘kuwu‘ yang diserap dari kata ’kuwur‘ yang berarti ‘lari / kabur / berhamburan‘. Mungkin kalau adanya di Jawa Barat namanya akan menjadi ‘Mèlèdug Lumpat’, atau menjadi ‘Explode Run’ jika terdapat di Greenwich.

Lokasi Bledug Kuwu dapat dilihat juga menggunakan Google Earth pada koordinat 7°07′03.90″LS, 111°07′17.61″BT seperti pada screenshot di atas. Bleduk Kuwu dapat ditempuh kurang lebih 23 km ke arah Timur (Cepu, Blora) dari Purwodadi.

Bledug Kuwu merupakan letupan gas pada endapan lempung yang terkumpul secara berkala. Endapan lempung yang cukup tebal, dimana di bagian dalamnya terakumulasi gas sehingga terbentuk ruangan yang cukup tebal dibawah tanah. Ruangan yang terbentuk memberikan tempat untuk terkumpulnya air formasi yang asin dan ikut keluar saat terjadi letupan gas setinggi 1 - 5 meter dengan interval beberapa jam. Bahkan menurut penduduk setempat dulunya tinggi letupan Bledug Kuwu dapat mencapai 10 meter dengan interval 5 menit.


Gas yang terdapat pada letupan Bledug Kuwu merupakan gas metan biogenik (biogenic methane gas) yang merupakan hasil dari proses diagenesis dan biasa terjadi pada kedalaman 0 sampai 4 km. Terbentuk dari sisa jasad mahluk hidup serta aktifitas jasad renik anaerob pada kondisi temperatur tinggi (± 100 - 125°C) dan tekanan dari beban sedimen diatasnya. Untuk keterangan tentang terjadinya proses diagenesis silahkan baca kembali artikel saya tentang Proses Pembentukan Minyak Bumi.

Air formasi yang ikut terbawa keluar saat terjadi letupan gas mempunyai kadar garam (salinitas) yang tinggi dan sangat potensial untuk diolah menjadi garam dapur. Kelebihan garam dapur volcano ini adalah sudah mengandung yodium dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan garam dapur hasil olahan dari air laut, meskipun berpotensi mengandung sianida juga, sehingga relatif bisa langsung digunakan tanpa harus melalui proses penambahan yodium lagi kedalam garam.

Secara geologi, fenomena yang terjadi di daerah Kuwu disebut sebagai Mud Volcano atau gunung api lumpur. Setiap ekstrusi pada permukaan lempung atau lumpur Bledug Kuwu membentuk suatu kerucut yang diatasnya terdapat suatu telaga. Ekstrusi tersebut dibarengi dengan keluarnya gas dan air (kadang-kadang juga minyak) secara kuat, bahkan dengan suara ledakan. Seringkali gas yang dikeluarkan terbakar sehingga menyerupai gunung api. Sifat gunung api lumpur ini sangat tergantung kepada iklim dan juga jumlah lempung yang dikeluarkan.
Terjadinya gunung api lumpur biasanya berasosiasi dengan suatu keadaan geologi yang lapisan sedimennya belum tekompaksikan, mempunyai tekanan tinggi dan mengakibatkan timbulnya diapir dari serpih ataupun penusukan oleh serpih. Gejala tersebut juga sering berasosiasi dengan daerah yang disebut ‘over pressured area‘, yaitu daerah tekanan tinggi yang tekanan serpihnya lebih besar daripada tekanan hidrostatik, dengan demikian dapat menimbulkan kesulitan pemboran.